Minggu, 20 Agustus 2017

Saya masih MERASA INDONESIA

Alhamdulillah, masih merasa Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk Sang Saka Merah Putih yang "dipolandiakan" oleh negeri jiran yang mungkin masih belum "move on" dari sikap sentimennya terhadap pidato "Ganyang Malaysia" yang disampaikan Bung Karno, pada 27 Juli 1963, kami masih sangat bangga melaksanakan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih secara rutin.

Sedikit flashback dan sama sekali tak bermaksud membangkitkan sentimen nasionalisme terhadap "kepongahan" negeri Jiran tentang pidato Sang Proklamator. Dari berbagai sumber, aksi Ganyang Malaysia bermula pada 20 Januari 1963. Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Bangsa kita tidak terima dengan tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia, Garuda.

Berikut isi pidato Bung Karno yang disampaikan dengan nada sangat berapi-api:

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu!

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
***

Pada bulan kemerdekaan ini pula, kita juga merasa sedih atas sikap "penghuni" salah satu pondok pesantren yang telah kehilangan kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia. Ada oknum yang dikabarkan telah membakar umbul-umbul Merah Putih. Bahkan, diberitakan juga selama ini pondok pesantren tersebut tidak pernah bersedia memasang dan mengibarkannya.

Kita sedih lantaran selama ini mereka tinggal, makan, dan minum di bumi Indonesia, tetapi masih gagal memahami hal yang paling mendasar tentang makna dan nilai nasionalisme. Bagaimana dengan nasib para santri yang dididiknya? Haruskah mereka menjadi "generasi durhaka" kepada Ibu Pertiwi, tempat untuk pertama kalinya mereka menumpahkan darah kehidupannya ketika lahir di bumi Indonesia? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar