Rabu, 09 Agustus 2017

Dilema FUll Day School dan GENERASI "KAGETAN"

Penguatan pendidikan karakter (PPK) lewat Full Day School (FDS) itu ibarat kaos lampu petromak. Dari jauh tampak moncer dan terang-benderang, tapi gampang ambrol ketika tersentuh dan tersapu angin, hingga akhirnya gelap gulita.

Beban belajar yang berlebihan di sekolah selama 8 jam sehari akan berdampak serius terhadap "pola asuh" peserta didik. Selain kesenjangan sarana, prasarana, dan fasilitas antardaerah, juga daya dukung SDM, baik di sekolah maupun masyarakat sekitar, yang masih amat timpang antara desa dan kota. Kondisi riil semacam itu justru akan menimbulkan efek "pola asuh" yang jauh lebih rumit dan kompleks terhadap dinamika dunia pendidikan kita. FDS hanya bisa dipraktikkan melalui "pola asuh" yang tepat pada daerah tertentu, khususnya perkotaan, yang memiliki daya dukung sarana, prasarana, fasilitas, dan SDM memadai.

Sebagai guru, saya mendukung sepenuhnya PPK yang digagas Pak Mendikbud. Sudah terlalu lama institusi pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang cerdas otaknya, tetapi "bebal" emosi, sosial, dan spiritualnya. Bejibun jumlah orang berotak pintar di negeri ini, tetapi menjadi "lumpuh" ketika menghadapi perubahan yang terjadi. Mereka bukannya menjadi pemberi solusi", tetapi justru terjebak menjadi "trouble maker" yang menciptakan banyak masalah karena  kadar kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual yang rendah. Itulah sebabnya, PPK perlu menjadi program penting dan perlu "cetak biru" yang tebal agar bisa diimplementasikan secara luwes dan adaptif melalui pendekatan "pola asuh" yang tepat.

Madrasah yang telah teruji oleh sejarah yang teguh dan konsisten melalui pendekatan "lampu kultural" yang tahan dari hembusan dan gempuran perubahan zaman, diakui atau tidak, telah melahirkan generasi "ulil albab" yang tidak hanya berpikir statis, tetapi berpikir dinamis sesuai dengan konteks perubahan yang terus berlangsung. Generasi yang lahir dari "rahim" madrasah yang memiliki ikatan sosial yang begitu kuat dengan masyarakat sekitar tidak akan menjadi generasi "kagetan" dan "karbitan".

Negeri ini sangat membutuhkan sosok generasi masa depan yang memiliki karakter "ulil albab" semacam itu. "Tanggap ing sasmita", responsif terhadap gerak dinamika zaman, sehingga bisa hadir di tengah masyarakat yang begitu kompleks dan majemuk sebagai pemberi solusi, bukan generasi "kagetan" yang mengalami "gagap budaya" setiap melihat perubahan perubahan yang terjadi.

Dalam konteks demikian, akhirnya saya bisa memahami kalau PBNU bersikap resisten. Yang ditolak bukan PPK yang digagas Pak Mendikbud, melainkan Program FDS yang dinilai memiliki "pola asuh" yang kurang tepat jika dikaitkan dengan setting dan situasi sosial masyarakat kita yang sudah lama menjadi bagian dari "tripusat pendidikan" sebagaimana yang pernah digagas oleh ki Hajar Dewantara.

Kepada Bapak Presiden Joko Widodo, mohon dengan hormat untuk tidak mengabaikan suara kyai-kyai sepuh NU, pengurus PBNU, warga Nahdliyin, dan juga berbagai komponen masyarakat yang menolak FDS. Kami sangat membutuhkan campur tangan Bapak untuk secepatnya merespon persoalan ini agar tidak terus berkembang menjadi kegaduhan baru yang rentan terhadap isu politisasi pendidikan. Kami menunggu implementasi PPK yang akan dikuatkan dalam bentuk Peraturan Presiden.

Terima kasih dan mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan.

Dirgahayu Negeriku dan Salam Indonesia Raya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar